Di balik glamornya industri fesyen, banyak yang tidak tahu bahwa industri fesyen adalah penyumbang polusi terbesar di dunia. Penelitian dari Ellen MacArthur Foundation menyebutkan bahwa industri fesyen menghasilkan emisi gas yang lebih merusak iklim dibandingkan industri pelayaran dan penerbangan digabungkan menjadi satu!
Produksi busana sedunia meningkat dua kali lipat sejak tahun 2000 dan rata-rata konsumen membeli pakaian meningkat 60% tiap tahunnya. Bedanya dengan perilaku konsumen 15 tahun yang lalu, konsumen zaman sekarang cenderung tidak menggunakan dan menyimpan pakaian tersebut dalam waktu yang lama. Di negara maju sudah menjadi hal yang biasa untuk membuang baju bekas yang akhirnya menumpuk di tempat pembuangan sampah.
Meningkatnya pembelian terhadap pakaian tersebut tidak terlepas dari kelahiran fast fashion, sebuah istilah modern untuk pakaian murah dan trendi yang mengambil ide mode dari peragaan busana terkenal atau gaya dari para selebriti.
Fast fashion mendukung gaya hidup konsumtif
Photo by Jacek Dylag on Unsplash
Fast fashion adalah konsep bisnis industri fashion yang memproduksi pakaian dengan jumlah banyak dan cepat demi memenuhi permintaan pasar. Kemunculan fast fashion mendukung gaya hidup konsumtif karena harganya yang relatif lebih murah dibandingkan pakaian dari designer. Harga murah dan membuat kamu tampil modis dan kece? Siapa yang tidak mau?
Strategi bisnis fast fashion adalah membuat kuantitas yang terbatas untuk pakaian tertentu. Stok yang terbatas ini membuat konsumen sadar bahwa jika mereka tidak membeli pakaian tersebut sekarang, maka mungkin saja mereka akan kehabisan stok. Memanfaatkan repson psikologis ini lah yang membuat fast fashion memiliki omset tinggi dan digandrungi oleh konsumen.
Fokus dari fast fashion adalah bagaimana menghasilkan barang dengan biaya serendah mungkin, namun mampu menanggapi permintaan konsumen yang berubah dengan cepat; dengan asumsi bahwa konsumen menginginkan pakaian dengan mode terbaru dengan harga terjangkau.
Fast fashion mencemari lingkungan
Sumber: Sustain Your Style
Orsola de Castro, pendiri dari Fashion Revolution, sebuah gerakan mode yang adil dan beretika, mengatakan bahwa jumlah besar dari produksi busana yang dihasilkan bisnis fast fashion menjadikan bisnis tersebut sebagai penyumbang limbah terbesar.
Warna-warna cerah, motif dan tekstur kain yang menjadi daya tarik industri fesyen diperoleh dari bahan kimia beracun. Pencelupan tekstil adalah pencemar air bersih terbesar kedua secara global setelah pertanian. Penggunaan kain berbahan dasar petrokimia yang murah dan mudah diproduksi seperti polyester dan sintetis sangat merusak lingkungan.
Polyester adalah kain paling popular yang digunakan dalam industri fesyen yang ketika dicuci dengan mesin cuci rumahan, polyester melepaskan mikrofiber yang menambah jumlah limbah plastik di laut. Mikrofiber tidak bisa terurai secara alami, sehingga merupakan ancaman serius bagi kehidupan organisme di perairan dan mencemari rantai makanan. Makhluk kecil seperti plankton memakan mikrofiber, yang kemudian dimakan oleh ikan dan kerang, yang dalam rantai makanan berikutnya dimakan oleh manusia.
Fast fashion juga menghasilkan emisi karbon dalam proses produksinya. Pemilik industri fashion membuka pabriknya di negara berkembang seperti Vietnam, Filipina, Pakistan, dan Indonesia. Negara-negara ini tidak memiliki bahan mentah yang dibutuhkan dan harus didatangkan dari negara lain seperti Cina, Amerika Serikat dan India. Setelah produksi selesai, pakaian akan dikirim ke seluruh penjuru dunia dengan kapal dan dikirim ke pengecer melalui truk dan kereta api. Bisa dibayangkan kan berapa banyak emisi karbon yang dihasilkan?
Fast fashion mendorong “throw away clothes culture”
Sumber: Wtvox.com
Karena harganya yang murah dan tren yang terus dan cepat berubah, konsumen tidak merasa sayang untuk membuang pakaian lama mereka dan membeli pakaian baru agar dapat mengikuti tren mode.
Menurut survey McKinsey, jangka waktu penyimpanan pakaian oleh konsumen semakin singkat dan berakhir di tempat pembuangan akhir. Pada tahun 2010, Amerika Serikat menghasilkan 11 juta ton limbah pakaian. Di Australia, setiap orang membeli 27 kilogram pakaian per tahun, dan 23 kilogram di antaranya berakhir di tempat sampah. Kain yang membusuk akan melepaskan gas metana ke udara, yang tentunya berkontribusi besar terhadap pemanasan global.
Banyak pihak yang terkesampingkan dari kenikmatan konsumerisme Fast Fashion
Sumber: Our Good Brands
Perlu diingat bahwa salah satu prinsip fast fashion adalah menekan biaya produksi supaya bisa tetap bisa menawarkan harga produk yang relatif rendah. Brand fast fashion bekerjasama dengan industri garmen di negara-negara Asia yang memiliki standar upah pekerja yang lebih rendah.
Mengutip dari Business Insider, rata-rata upah pekerja industri garmen di Bangladesh adalah USD 87 per bulan atau setara dengan 1,2 juta rupiah. Sebanyak 20 sampai 60 persen adalah pekerja tidak resmi yang terdiri dari ibu rumah tangga. Di Bangladesh, ibu rumah tangga tersebut juga mempekerjakan anak-anaknya di rumah.
Berangkat dari masalah yang dihasilkan dari fast fashion, muncul lah antitesis yang disebut dengan Slow Fashion, sebuah istilah yang diperkenalkan oleh Kate Fletcher. Kemudian di tahun 2017, sudah terbentuk sebuah agenda yang mengajak merek fashion di dunia untuk mengubah sistemnya menjadi Circular Fashion System, yang mengedepankan konsep recyclable material dalam proses desain dan produksi.
Saat ini sudah adda 142 merk fesyen di dunia yang ikut bergabung dalam program yang berjudul “2020 Circular Fashion System Commitment”.
Apa pendapat kamu tentang Circular Fashion System?